Jakarta: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diajukan oleh perorangan, yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI Ikhwan Mansyur Situmeang.
Hakim Ketua, Anwar Usman dalam amar putusannya menolak Gugatan Aquo Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu tersebut.
“Berdasarkan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan seterusnya amar putusan mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar dalam sidang di Gedung MK, Kamis (24/2/2022).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menjelaskan, penolakan dilakukan karena Ikhwan selaku pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum, serta tidak mengalami kerugian konstitusional.
“Mahkamah tidak dapat meyakini pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian. Kondisi ini karena berlakunya pasal aquo,” jelasnya.
Terlebih lagi, tambahnya, Ikhwan sama sekali tidak menyampaikan alat bukti lain terkait dengan dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik, begitu juga bukti terkait syarat pencalonan.
“Oleh karena itu menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh pemohon. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah (menilai, red) pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan aquo,” urai Daniel.
Perlu diketahui, dari 9 orang Majelis Hakim MK dalam sidang, tidak seluruhnya menyatakan bahwa Ikhwan tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Sebab setidaknya ada 4 hakim MK yang berbeda pandangan atau disenting opinion. Keempatnya yaitu Manahan MP Sitompol, Eny Nurbaningsih, Suhartoyo dan Saldi Isra.
Sebagai informasi, selain Ikhwan, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga melayangkan gugatan yang sama atas pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gugatan Gatot tercatat sebagai perkara nomor 70/PUU-XIX/2021. Gatot meminta MK membatalkan ketentuan dalam pasal tersebut.
Adapun pasal tersebut menyatakan, bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dalam permohonannya, Gatot berpendapat, aturan itu mengakibatkan dirinya kehilangan hak konstitusional untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa, yaitu calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dihasilkan Pemilihan Umum.
Lagi-lagi, MK juga menolak gugatan tersebut. Sebab Hakim menilai Gatot juga tidak memiliki legal standing. MK beralasan bahwa pemegang legal standing di pasal yang dimaksud adalah partai politik.